Tugas
Individu
Mata Kuliah : Civic Education
Dosen : Abdul Wahid, M.Sos
PENDIDIKAN
DI INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL
Di
susun Oleh :
Nama : Wafa Nursiham
NIM :
50100111038
JURUSAN KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
2011
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Secara
geografis Indonesia
adalah salah satu dari empat negara besar di dunia. Negara ini adalah negara
dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah Republik Rakyat Cina
(RCC), India, dan Amerika Serikat. Secara politis Indonesia menerapkan sistem
demokrasi setelah India dan Amerika Serikat. Secara geografis, Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya sebanyak 16.000
lebih pulau (besar dan kecil). Posisi geostrategik Indonesia sangat potensial
untuk menjadi negara yang berpengaruh dalam percaturan politis dan keamanan
dunia.
Kenyataan
yang dapat kita jumpai adalah untuk menjadi suatu negara yang sejahtera dan
mampu mensejahterakan rakyatnya kualitas sumber daya manusia (SDM) memegang
peran cukup penting. Kita melihat kenyataan banyak negara yang miskin sumber
daya alam, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura serta sebagian besar
negara-negara Eropa dapat menjadi negara makmur dan rakyatnya sejahtera karena
memiliki SDM yang berkualitas.
Bila
kita pelajari bagaimana mereka membangun negerinya, ternyata negara-negara ini
memulai dari membangun SDM melalui pendidikan. Dalam pembangunan upaya
membangun SDM melalui pendidikan adalah yang pertama harus dilaksanakan, dan
bila hal ini dilakukan maka kesejahteraan rakyat akan mengikuti. Kemudian apa
yang terjadi dengan pembangunan nasional kita? Inilah yang perlu kita cermati
dalam rangka menempatkan pembangunan nasional ini berada pada jalur yang tepat.
Oleh
karena itu, penulis merasa perlu mengangkat masalah ini sebagai bahan makalah
yang ditugaskan oleh dosen mata kuliah civic education, sehingga penulis mengangkat
judul “Pendidikan di Indonesia dalam Perkembangan Nasional”.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian pendidikan nasional dan pembangunan nasional?
2. Bagaimana
pendidikan nasional dan pembangunan nasional di Indonesia?
3.
Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
4.
Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan
di Indonesia?
5.
Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari
permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia?
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pendidikan Nasional dan Pembangunan Nasional
-
Pendidikan Nasional
Pendidikan Nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Untuk mewujudkan
cita-cita ini, diperlukan perjuangan seluruh lapisan masyarakat.
Menurut UU No.20 tahun 2003
tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
-
Pembangunan Nasional
Pembangunan
nasional merupakan usaha peningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia
secara berkelanjutan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Pelaksanaanya
mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk mewujudkan
kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera.
Secara
konseptual pembangunan adalah segala upaya yang dilakukan secara terencana
dalam melakukan perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan
taraf hidup masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas
manusia. Perbaikan taraf hidup memerlukan prakondisi yaitu intranstruktur,
sarana dan prasarana yang semua ini dapat memberi pengaruh terhadap peningkatan
harkat dan martabat bangsa. Harkat dan martabat bangsa ditentukan oleh berbagai
faktor, diantaranya adalah kemampuan dalam berbagai bidang, kompetensi, dan
prilaku positif dalam berhubungan dengan lingkungannya, baik lingkungan masyarakat
maupun alam sekitar.
B. Pendidikan
Nasional dan Pembangunan Nasional di Indonesia
-
Pendidikan Nasional
Sebelum
bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan pendidikan telah dilaksanakan, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah kolonial pada awal abad keduapuluhan sebagai
politik balas budi maupun oleh masyarakat. Pendidikan yang dilaksanakan oleh
pemerintah kolonial semata-mata dilakukan untuk menopang keberlangsungan
pemerintah kolonial, yakni untuk mendidik calon-calon tenaga kerja atau pegawai
pemerintah yang dibutuhkan pada masa itu. Kondisi seperti ini berjalan bangsa
Indinesia mencapai kemerdekaan. Adapun pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat pada umumnya berlatar agama, khususnya Islam, pada umumnya
dilaksanakan oleh madrasah dan pesantren. Pendidikan ini diselenggarakan untuk
membentuk manusia yang beriman, berakhlak dan memiliki kemampuan untuk
menjalani hidup sebagai muslin untuk mencetak kader-kader ahli agama Islam.
Pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat berbentuk sistem persekolahan
mengikuti model penyelenggaraan pendidikan kolonial.
Salah
satu cita-cita yang ingin diwujudkan melalui Indoneasia merdeka, sebagaimana
dirumuskan oleh para pendiri bangsa yang tertuang dalam rumusan Pembukaan
Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah bentuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Cita-cita ini terinspirasi dari kenyataan pada
bangsa-bangsa lain yang pada saat itu sudah relatif maju, yaitu bangsa-bangsa
Eropa dan Amerika Serikat juga diikuti oleh bangsa Jepang. Bangsa-bangsa ini
menunjukkan keadaan kehidupan yang lebih baik dan maju dan keadaan ini menurut
para pendiri bangsa Indonesia disebabkan mereka lebih cerdas.
Pembangunan
pendidikan di Orde Baru dilaksanakan selama kurun waktu antara 1966-1998. Pada
awal Orde Baru, arah pemerintahan yaitu melaksanakan Pancasila adan
Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Hal ini juga berpengaruh
kepada kebijakan pendidikan.
Pada
pertengahan tahun 1970-an pemerintah mendeklarasikan pendidikan semesta. Salah
satu kebijakannya adalah membangun sekolah dasar hingga ke pelosok desa
berdasarkan Intruksi Presiden (Inpres) tahun 1972. Disamping itu, di setiap
propinsi didirikan setidaknya sebuah universitas negeri. Untuk memperkuat
pelaksanaan kebijakan tersebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil
Pemilihan Umum tahun 1972 menekankan tujuan pendidikan pada pembentukan manusia
pembangunan yang bermoral pancasila.
Dalam
rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) 25 tahun pertama (1974-1999)
pendidikan menjadi prioritas di samping ekonomi. Target utama pembangunan
pendidikan di masa ini adalah pendidikan dasar sembilan tahun yang semakin
meluas dalam waktu 15 tahun dan perbaikan kualitas, akses dan relevansi
pendidikan yang akan mengarah dan meningkatkan kualitas SDM Indonesia.
Sejak
awal Orde Baru hingga awal Pelita VI sektor pendidikan mengalami perkembangan
yang cukup baik secara kuantitaf. Strategi dasar pembangunan pendidikan
nasional yang diperkenalkan pada Repelita II terdiri atas empat butir, yaitu :
peningkatan kualitas pendidikan, pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan,
relevansi pendidikan dan efisiensi pendidikan. Strategi ini masih bertahan
hingga Repelita VI. Namun, sejak tahun 1968 pemerintah memperkenalkan Sumbangan
Pembinaan Pendidikan (SPP) yakni masyarakat dibebani biaya pendidikan sejak
sekolah dasar. Pada masa Orde Lama, siswa yang mengikuti pendidikan SMP, SMA
dan Perguruan Tinggi hampir tidak dipungut biaya. Siswa yang mengikuti sekolah
calon guru diberi ikatan dinas dan ditampung di asrama. Sementara bagi dosen
diberi perumahan, dan disetipa universitas negeri dibangun asrama untuk
mahasiswa.
Pada
tahun 1984 pemerintah merencanakan pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar
enam tahun. Pelaksanaan wajib belajar ini mencapai hasil setelah sepuluh tahun
yang ditandai dengan tuntasnya wajib belajar sekolah dasar (6 tahun) pada awal
tahun 1990-an. Pada tahun 1994 pemerintah merencanakan program eajib belajar
pendidikan sembilan tahun, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Program ini direncanakan dapat dituntaskan
dalam waktu lima tahun, sehingga pada tahun 1999 direncanakan angka partisipasi
murni pendidikan SMP telah mencapai 97 persen.
Kemudian
era reformasi telah membuka ruang bagi masyarakat untuk membicarakan masalah
pendidikan dengan lebih baik. Antusiasi masyarakat untuk memasukkan anak ke
sekolah unggulan adalah sebuah fakta adanya kompetisi pendidikan. Komitmen
pemerintah pada era reformasi dalam melaksanakan pendidikan sebagai suatu
program prioritas ditandai oleh besarnya alokasi anggaran belanja untuk
pendidikan.
Pemerintah
juga mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menyediakan pendidikan yang
berkualitas. Salah satu diantaranya adalah menyediakan biaya oprasional sekolah
(BOS). Pada tahun 2005 pemerintah menyediakan BOS untuk SD/MI, SMP/MTs dan
satuan setingkat sebesar 5,1 triliun rupiah, dan semakin meningkat tiap
tahunnya. BOS dimaksudkan untuk menutupi biaya oprasional dan mengurangi serta
meniadakan biaya prendidikan yang dipungut dari orang tua siswa. Khususnya pada
jenjang pendidikan dasar 9 tahun yang merupakan program wajib belajar.
Dalam
rangka meningkatkan pemerataan untuk mendapat pendidikan, yang untuk saat ini
diprioritaskan pada pendidikan dasar 9 tahun pemerintah juga melakukan
pembangunan ruang kelas baru (RKB) pada sekolah atau madrasah yang sudah ada
dan penambahan unit sekolah baru (USB) dalam jumlah besar. Rehabilitas ruang
kelas dan gedung sekolah juga dilakukan oleh pemerintah. Berbagai upaya lain
untuk menunjang peningkat kualitas pendidikan juga dilakukan, seperti
penambahan pembangunan perpuistakaan, workshop, laboraturium IPA, laboraturium
bahasa dan multimedia serta penyedian peralatan laboraturium lainnya. Berbagai
program dilaksanakan untuk membantu agar anak-anak usia sekolah dapat mengakui
dan peduli pada pendidikannya.
-
Pembangunan Nasional di
Indonesia
Sejak
Indonesia menjadi sebuah negara merdeka pembangunan nasional sudah mulai
dilakukan, meskipun dalam pelaksanaan pembangunan pada saat itu belum mengacu
kepada suatu perencanaan jangka panjang. Pada pemerintahan kurun waktu dua puluh
tahun pertamana Indonesia meredeka kekuasaan presiden sangat dominan sehingga
dalam pelaksanaan pembangunanpun acuan utamanya adalah kebijakan atau ide-ide
yang dikemukakan oleh presiden. Walaupun pada masa itu kita mengenal suatu
konsep pembangunan nasional yang disusun belum menggunakan pola perencanaan
yang sistematis dan berjangka panjang.
Pada
masa pemerintahan orde baru, pembangunan nasional dilaksanakan dengan mengacu
kepada suatu perencanaan yang lebih sistematis dan berjangka panjang sehingga
dapat menjamin kesinambungan pelaksanaannnya. Rencana pembangunan nasional
jangka panjang yang dirumuskan sejak awal masa pemerintahan Orde Baru dikenal
dengan nama Rencana pembangunan lima
tahun (Repelita).
Peroide
Repetika pertama yaitu tahun 1972-1997 bertujuan pembangunan secara
komprehensif berbagai sektor dan bidang guna meletakkan dasar-dasar bagi
pembangunan pada periode berikutnya menuju Indonesia sebagai negara industri
maju.pada periode repelita berikutnya 1997-2022 direncanakan bangsa Indonesia
memasuki periode tinggal landas atau take off sebagai negara industri
maju dan modern. Namun, krisis ekonomi yang diawali oleh krisis finansial dan
berkembang menjadi krisis multidimensi telah menyebabkan sebagian besar
keberhasilan pembangunan pada repelita pertama dapat dikatakan hancur. Ini
menjadi indikator bahwa keberhasilan pembangunan tersebut bersifat rapuh karena
tidak memiliki pondasi ekonomi yang kokoh.
Situasi
krisis multidimensi memicu terjadinya reformasi, yang juga berdampak pada
perubahan arah dan pola perencanaan pembangunan jangka panjang dan jangka
menengah. Setelah reformasi, pembangunan pada masa tradisi mengacu pada Program
Pembangunan Nasional (Propenas) yang merupakan ketetapan MPR Nomor 25 Tahun
2000. Pada kurun waktu berikutnya, yaitu sejak akhir tahun 2004 atau awal tahun
2005, pembangunan nasional mengacu kepada suatu perencanaan jangka panjang,
yaitu RPJP 2005-2025. Sebagaimana pada periode sebelumnya, pembangunan nasional
ini dilaksanakan dalam semua aspek kehidupan masyarakat bangsa Indonesia.
Secara garis besar lingkup pembangunan nasional meliputi sosial budaya, dan
kehidupan beragama, ekonomi, sains dan teknologi, politik, pertahanan dan
keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyedian
sarana dan prasarana, dan pengolahan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
C. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui,
kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari
kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentunya punya
harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang,
guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak
diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang
sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar
murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka
ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut,
tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru
berpengalaman yang pensiun.
Kualitas pendidikan di Indonesia
saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO
(2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index),
yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan
penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia
Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati
urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and
Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada
urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam.
Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki
daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang
disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia
hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53
negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia
pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh
kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena
kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini
disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad
ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan
perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi
berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia
terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah
adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun
informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara
lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya
manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya
dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing
dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Kualitas pendidikan Indonesia yang
rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di
Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia
dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia
ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam
kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh
sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program
(DP).
D. Penyebab Rendahnya Kualitas
Pendidikan di Indonesia
1. Efektifitas Pendidikan di Indonesia
Selama ini, banyak pendapat
beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk
membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak peduli bagaimana hasil
pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan
pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat.
Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di
Indonesia sangat rendah.
Dalam pendidikan di sekolah menegah
misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa
mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih
rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai
dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di
Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam
menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran di Indonesia
Beberapa masalah efisiensi
pengajaran di Indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan
dalam proses pendidikan, mutu pengajar dan banyak hal lain yang menyebabkan
kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam
peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Jika kita berbicara tentang biaya
pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus
atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga
berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya
transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita
pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan
biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya
adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang
ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang
mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya,
yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya
pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey
lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative
lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah
menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari
pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien,
karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan
formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang
mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan
sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut
tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal
untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Dalam beberapa tahun belakangan ini,
kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum
berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan
aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga
mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan
terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat
disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran
efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
3. Standarisasi Pendidikan di Indonesia
Seperti yang kita lihat sekarang
ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat
hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur
oleh standar kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga
dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standarisasi dan kompetensi
tersebut seperti Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Selain itu, akan lebih baik jika
kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai
atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya.
Dengan adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang disayangkan
adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta
didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses
yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa
tahun. Selain hanya berlangsung sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi
beberapa bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah
didikuti oleh peserta didik.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan
di Indonesia juga tentu tidak hanya sebatas yang dibahas di atas. Banyak hal
yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita.
Selain beberapa penyebab rendahnya
kualitas pendidikan di atas, berikut ini beberapa masalah yang menyebabkan
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara khusus, diantaranya :
A.
Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak
sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan
penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara
laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan
sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri,
tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003)
menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898
siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut
sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami
kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat.
Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi
MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs,
SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
B.
Rendahnya Kualitas
Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai
untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003
yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian
dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di
Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut
kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan : untuk
SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP
54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas
berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang
Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang
berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000
guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di
tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki
pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru
18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan
satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, tetapi pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas,
tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang
menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
C.
Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru
mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia.
Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan
tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta
rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta.
guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10
ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa
melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi
les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS,
pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (REPUBLIKA, RABU 13 JULI, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen,
seharusnya kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu
sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru
dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain
meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi,
dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru
swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta,
masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan bahwa
sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk
menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen
(PIKIRAN RAKYAT, SENIN 9 JANIUARI 2006).
D.
Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu
(rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian
prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Dalam hal prestasi, 15 September
2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah
mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh
dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam
laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara.
Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada
jauh di bawahnya.
Anak-anak Indonesia ternyata hanya
mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali
menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin
karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
E.
Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan
masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan
Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan
Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4%
(28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi
Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara
itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan
dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia
secara keseluruhan.
F.
Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari
banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak
tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU
sebesar 25,47%, Diploma/S1 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada
periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang
Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak
memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan
tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia
kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap
keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
E. Solusi dari
Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah yang
menjadi penyebab rendahnya pendidikan di Indonesia, secara garis besar ada dua solusi
yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan.
Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang
diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam
konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip
antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik,
termasuk pendanaan pendidikan.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang
menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini
misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa. Maka,
solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis
untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.
Sedangkan solusi secara khusus
adalah sebagai berikut :
1. Mengefektifitaskan Pendidikan di
Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu
pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah,
menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan.
Pendidik (dosen, guru, instruktur,
dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar
pembelajaran tersebut dapat berguna.
2. Mengefesiensikan Pengajaran di
Indonesia
Efisien adalah bagaimana
menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’.
Hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita
kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil
yang telah disepakati. Sehingga dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik
jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan
proses yang baik pula.
Konsep efisiensi akan tercipta jika
keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan
yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan
keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi
teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam
pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang
sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai
kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Efisiensi ini tidak terlepas dari
dua faktor, yakni faktor eksternal dan faktor internal.
Penyelenggaraan pendidikan yang
sentralistik merupakan efesiensi eksternal yang cenderung melahirkan suatu
sistem yang makro dan tidak memperhitungkan kebutuhan daerah yang beragam.
Desentralisasi manajemen juga tidak dengan sendirinya akan meningkatkan efesiensi
eksternal pendidikan. Percobaan di beberapa negara maupun Indonesia dengan
proyek STEPPES menunjukkan bahwa pendidikan dasar akan meningkatkan efisiensi
eksternal karena masyarakat lokal mengetahui benar kebutuhannya.
Sebab-sebab rendahnya efisiensi
internal sistem pendidikan dasar di Indonesia ditunjukkan oleh masih tingginya
angka repetisi dan angka drop out. Sebab-sebab dari drop out yang tinggi juga
disebabkan oleh manajemen yang terlalu sentralistik, kurang memperhatikan
keterbatasan kemampuan ekonomi orang tua, atau faktor kemiskinan. Manajemen
pendidikan yang didestralisasi akan lebih mampu memantau tingginya angka drop
out sehingga dapat dilakukan langkah-langkah penanggulangan.
3. Tersedianya Kualitas Sarana Fisik
yang Memadai
Tersedianya sarana yang memadai
sangat mendukung dalam mewujudkan pembangunan pendidikan nasional. Dengan
tersedianya sarana yang memadai maka pendidik dan peserta didik pun akan merasa
nyaman dalam proses belajar mengajar.
Oleh sebab itu, maka perlu adanya
perhatian dari pemerintah dan masyarakat dalam menyediakan sarana yang memadai
di setiap sekolah-sekolah baik di pedesaan maupun perkotaan. Kemudian perlu
juga dikembangkan dan didirikan serta ditingkatkann sarana pendukung seperti
laboraturium-laboraturium dan perpustakaan.
4. Meningkatkan Kualitas dan
Keprofesionalan Guru
Dalam bidang profesi seorang guru
profesional berfungsi untuk mengajar, mendidik, melatih, dan melaksanakan
penelitian masalah-masalah kependidikan. Dalam rangka melaksanakan
tugas-tugasnya, guru profesional haruslah memiliki berbagai kompetensi.
Kompetensi-kompetensi guru profesional antara lain meliputi : kemampuan untuk
mengembangkan pribadi peserta didik, khususnya kemampuan intelektual, serta
membawa pendidik menjadi anggota masyarakat Indonesia yang bersatu berdasarkan
pancasila. Dalam rangka melaksanakan tugas tersebut, seorang guru profesional
tentunya harus menguasai filsafah pendidikan nasional, mengetahui pengetahuan
yang luas khususnya bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik,
serta memiliki kemampuan teknis dalam penyusunan program pengajaran dan
melaksanakannya.
Seorang guru profesional harus dapat
mengadakan evaluasi di dalam proses belajar mengajarnya, dan membimbing peserta
didik untuk mencapai tujuan program belajar dan mengajar. Selain itu seorang
guru profesional harus menjadi seorang yang administratif, baik di dalam
administrasi proses belajar mengajar maupun di dalam kemampuan manajerial dalam
lingkungan sekolah. Seorang guru juga harus komunikatif, ia harus dapat
berkomunikasi dengan peserta didiknya dalam upaya untuk mengembangklan pribadi
peserta didiknya. Dan guru profesional pun harus mampu mengadakan
penelitian-penelitian yang berkaitan dengan peningkatan profesional seorang
pendidik.
Oleh sebab itu, seorang guru perlu
diberi arahan dalam pelaksanaan belajar mengajar dan harus memiliki pendidikan
yang menunjang keprofesionalannya. Salah satunya dengan membiayai guru
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai
pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Seorang guru juga harus diberi
imbalan gaji yang tinggi dengan jalan memberikan penghargaan yang menarik, sama
dengan yang dinikmati oleh profesi-profesi modern lainnya.
5. Meningkatkan Prestasi Siswa
Meningkatkan prestasi siswa dapat
dilakukan dengan cara meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran,
meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Sehingga, seorang pendidik hendaknya menggunakan metode yang sekiranya mudah
untuk dicerna oleh peserta didik, materi pembelajarannya juga harus
disesuaikan, karna kapasitas seorang peserta didik berbeda-beda, sehingga
menurut saya tidak perlu adanya UAN, sebab kemampuan dan pembelajaran di
pedesaan dan perkotaan tidak sama sedangkan pada UAN itu soalnya sama rata baik
untuk siswa di pedesaan maupun perkotaan, padahal yang mengetahui kemampuan
peserta didik adalah gurunya sendiri.
Kemudian sarana dan alat-alat peraga
pun harus memadai, karena dengan adanya alat peraga juga sarana maka peserta
didik akan lebih cepat mengangkap pembelajaran.
6. Memberikan Pemerataan Kesempatan
Pendidikan
Diperlukan kebijakan dan strategi
pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan ini.
Dalam memberikan pemerataan
kesempatan pendidikan dapat dilakukan dengan pemerataan pembangunan sekolah
baik di pedesaan terpencil maupun kota. Salah satunya dengan adanya Program
Kawasan Terpadu (PKT) pada daerah-daerah perkotaan ataupun pedesaan. Kemudian
pemerataan ini dapat dilakukan dengan
penanggulangan kemiskinan dengan adanya intervensi dana pemerintah (pusat dan
daerah), dengan adanya kelembagaan yang cocok bagi penyampaian pelayanan yang
langsung kepada golongan miskin dan dengan melibatkan partisipasi langsung
masyarakat yang terlibat. Pemerataan ini juga dapat dilakukan dengan
meningkatkan martabat dan kualitas manusia.
.
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman.
2.
Pendidikan nasional dalam pembangunan nasional di Indonesia
masih belum mencapai kemajuan yang pesat dan masih jauh dari kesempurnaan. Kualitas
pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan
kualitas pendidikan di negara-negara lain.
3.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat
memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang
peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu
komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per
kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin
menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102
(1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
4.
Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas,
efisiensi, dan standarisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan.
Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu: rendahnya sarana fisik,
rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi
siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya relevansi
pendidikan dengan kebutuhan.
5.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas
antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem
pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa. Solusi lain
yang dapat diberikan adalah : mengefektifitaskan pendidikan di Indonesia,
mengefisiensikan pendidikan di Indinesia, menstandarisasikan pendidikan di
Indonesia, meningkatkan kualitas dan keprofesionalan guru, meningkatkan sarana
fisik, meningkatkan prestasi siswa, dan memberikan kesempatan pemerataan
pendidikan.
B.
Saran
Perkembangan dunia di era
globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional
yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah
satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan
dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya
terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan
berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan
mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia
internasional.
Pendidikan merupakan upaya yang
paling epektif dalam mengatasi kendala keterbatasan kemampuan. Sehingga
pemerintah dan anggota masyarakat hendaknya siap berpartisifasi dalam proses
pembangunan untuk mewujudkan visi pembangunan khususnya dalam pendidikan.
Melalui pendidikan selain dapat diberikan bekal berbagai pengetahuan, kemampuan
dan sikap juga dapat dikembangkan berbagai kemampuan yang dibutuhkan oleh
setiap anggota masyarakat sehingga dapat berpartisifasi dalam pembangunan
nasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali,
Muhammad. Pendidikan untuk
Pembangunan Nasional, Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing
Tinggi ; Imtima, Bandung, 2009.
Tilaar,
Prof. DR. H.A.R., M. Sc.Ed. Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan
Masa Depan ; PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003.
______
Membenahi Pendidikan Nasional ; PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2002.