renungan

renungan

02.34 0
ilmu itu cahaya dan cahaya tidak akan datang pada orang yang maksiat_Imam Syafi'i
sangat terasa saat kita mempelajari atau mendapatkan cahaya alias ilmu, rasanya sulit masuk di nalar dan kadang tidak berberkah saat ada suatu maksiat yang kita lakukan saat itu atau hari itu..
sungguh berharga dan bermanfaatnya ilmu jika dibarengi dengan keikhlasan dan ketulusan serta kesucian jiwa. dari itu, mari sucikan hati, bersihkan diri dan luruskan niat disetiap langkah pencarian cahaya menuju dunia dan akhirat yang bahagia..
tugas sosiologi dakwah

tugas sosiologi dakwah

07.48 0

Nama               : Wafa Nursiham
NIM                : 50100111038
Jurusan            : Komunikasi Penyiaran Islam (KPI)/II
Dosen              : A. Hakkar Jaya, S.Ag, M.Pd

KENDALA UNSUR DAKWAH DALAM PERUBAHAN SOSIAL DI DESA DAN KOTA
Ø  Kendala yang dihadapi oleh seorang Da’i pada masyarakat kota
1)      Pada masyarakat kota, biasanya yang sering di hadapi oleh seorang da’i dalam menyampaikan dakwahnya yaitu kurangnya kreatifitas seorang da’i dalam menyampaikan dakwahnya, da’i tidak bisa menangkap kondisi para mad’unya, sehingga membuat para mad’u kurang tertarik dan merasa bosan terhadap dakwah yang disampaikan oleh da’i, apalagi masyarakat di kota penuh dengan kesibukan, sehingga memerlukan sedikit hiburan dari seorang da’i yang berdakwah.
2)      Di kota, sudah banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya asing dari dunia Barat khususnya para remaja saat ini sering melakukan kemaksiatan, terkadang seorang da’i yang  melihat kondisi itu menasihati mereka dengan emosi atau kurangnya kesabaran, sehingga nasihat yang  diberikan oleh da’i tersebut kurang diterima oleh para remaja tersebut dan inilah peristiwa yang banyak terjadi didaerah perkotaan, sehinnga inilah kendala yang dihadapai oleh da’i  karena para da’i terkadang sulit untuk mengontrol keemosiannya terlebih setelah melihat peristiwa tersebut,  sedangkan pada masyarakat desa  biasanya memiliki paham atau aliran yang ajarannya menyimpang dari Islam, mereka mengakui dirinya beragama Islam tetapi secara terang-terangan perilakunya telah melanggar agama, maka dari itu, inilah yang terkadang membuat penyampaian dakwah dari seorang da’i kurang diterima oleh masyarakat desa karena mereka beranggapan bahwa ajaran yang disampaikan oleh seorang da’i tersebut tidak sesuai dengan ajaran nenek moyang mereka.

Ø  Kendala yang dihadapi oleh mad’u dalam menerima dakwah pada masyarakat kota dan desa
1)      Di kota apabila seorang da’i menyampaikan dakwahnya , terkadang para mad’u kurang tertarik dengan tema dakwah yang disampaikan oleh da’i terlebih jika kondisi mad’u saat itu tidak sesuai dengan tema yang disampaikan, sehingga terkadang para mad’u tidak mendengar apa ynag disampaikan da’i dan inilah problem yang banyak dihadapi  para mad’u di kota. Sedangkan di desa, biasanya para mad’u kurang memahami apa yang disampaikan oleh da’i , karena terkadang seorang da’i yang berdakwah menggunakan bahasa atau istilah yang sulit dipahami oleh para mad’u yang bisa dikatakan masih awam dengan istilah-istilah modern saat ini, dan terkadang pula bisa menyebabkan kesalah artian dalam menangkap arti sebuah bahasa tersebut.
2)      Dapat dikatakan bahwa di kota cukup sulit untuk menyampaikan dakwah Islam, karena sudah banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya asing yang bernilai negatif, sehingga apabila seorang da’i menyampaikan dakwahnya terkadang para mad’u mendengarkan apa yang disampaikan da’i tetapi tidak mengaplilkasikannya dalam kehidupan sehari-hari, sebab pikiran dan perilaku mereka sebagian besar sudah dipengaruhi oleh budaya asing. Sedangkan di desa, kebanyakan para mad’u tidak menerima ajaran yang disampaikan oleh para da’i karena mereka beranggapan ajaran tersebut tidak sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh orang-orang terdahulu mereka (leluhur), sehingga para mad’u tersebut tidak mengaplikasikan ajaran yang disampaikan da’i dan tetap pad ajaran leluhur mereka dan merugilah orang-orang yang bisa dikatakan syirik tersebut.
Ø  Kendala pada materi yang disampaikan oleh da’i pada masyarakat kota dan desa
1)      Pada masyarakat kota dan desa, terkadang ada seorang da’i yang kurang memahami materi dakwah yang dia sampaikan dengan keterangan atau dalil-dalil yang kurang dipahami oleh para mad’u, kemudian materi yang disampaikan oleh da’I tersebut tidak sesuai dengan situasi dan kondisi dalam penyampaiannya.
2)      Biasanya seorang da’i membawakan materi dakwah untuk kepentingan dirinya sendiri dan untuk para mad’unya, materi dakwah yang dibawakan oleh da’i tersebut tentang mentauhidkan Allah SWT tetapi sikap seorang da’i tersebut tidak sesuai dengan  materi dakwah yang dia bawakan karena secara terang-terangan dia telah menduakan Allah SWT (syirik), sehingga da’i ini tidak dapat dijadikan tauladan untuk membawakan materi dakwah.
Ø  Kendala pada metode yang digunakan da’i dalam masyarakat desa
Kurangnya pengetahuan masyarakat di desa mengenai istilah-istilah modern yang sedang berkembang, sehingga dapat menyebabkan salah pengertian apabila seorang da’i menyampaikan dakwah dengan menggunakan istilah-istilah yang modern tersebut.

Kendala Lain yang Dihadapi Unsur Dakwah dalam Perubahan Sosial Di Kota
Pertama, terjadi sekularisasi dalam kehidupan agama
Kedua, pemahaman atau persepsi keagamaan masyakat telah mengalami pergeseran bahkan perubahan karena adanya modernisme-industrialis.
Ketiga, nilai-nilai transenden dan moralitas banyak diremehkan orang. Sehingga agamawan dalam status sosialnya mengalami pergeseran.
Keempat, agama hanya sekedar sebagai alat instrumen kehidupan serta alat legitimasi dari apa yang diperbuat.[1]



[1]Ahmad anas, paradigma dakwah kontemporer (Cet I;Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2006), hal 217-218
tugas pengantar filsafat Q

tugas pengantar filsafat Q

07.44 0

RESUME FILSAFAT
Nama                           : Wafa Nursiham
NIM                            : 50100111038
Jurusan                        : Komunikasi Penyiaran Islam
Dosen Filsafat             : DR. Mustari

1.      Resume tanggal 21 September 2011
a.      Arti Istilah dan Makna Filsafat
1)      Menurut etimologi
Berasal dari bahasa Yunani philos (suka, cinta, cenderung pada sesuatu) dan Sophia (kebijaksanaan/hikmah, penghayatan)
2)      Berdasarkan watak dan fungsi
Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasannya diterima dengan proses kritik dan logis yang terangkum dalam berbagai aspek yang mencakup kritikan, daya nalar, dan berbagai pengalaman  untuk mendapat gambaran keseluruhan terhadap sekumpulan problema yang ada.
3)      Menurut filosof
a)      Menurut Plato
Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli
b)      Menurut Aristoteles
Filsafat meliputi kebenaran (menyelidiki sebab dan segala benda)
c)      Menurut Al Farabi
Filsafat adalah alam maujudat yang menyelidiki hakekat yang sebenarnya (eksistensi)
d)     Menurut Poedjawijatna
Filsafat adalah mencari penyebab dari segala sesuatu
e)      Menurut Hasbullah Bakry
Filsafat adalah menyelidiki dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia (hakekat yang dapat dicapai)
                            
b.      Obyek dan Metode Filsafat
1)      Obyek material, adalah filsafat yang memandang realitas dengan rasional, empiris atau sintesis tentang ada dan tidak adanya sesuatu.
2)      Obyek formal, adalah filsafat yang selalu bersikap mendalam dan menyeluruh secara realitas dan berpikir total.
c.       Ciri Berpikir Filsafat
1.      Radikal (bertanya sampai akar-akarnya)
2.      Universal (menyeluruh dari segala aspek)
3.      Konseptual (terperinci)
4.      Koheren dan konsisten(adanya kesesuaian dan teguh pendirian)
5.      Sistematis (tersusun)
6.      Komprehensif (teratur dari A sampai Z)
7.      Bebas
8.      Bertanggung jawab
d.      Cabang-cabang Utama Filsafat : Metafisika, Epistemologi, Aksiologi
1.      Metafisika, ialah filsafat yang pertama mengenai keberadaan itu memiliki suatu kodrat yang unik atau karasteristik umum.
2.      Epistemology, ialah filsafat yang menitik beratkan pengetahuan(adanya sumber), kritik dan logika.
3.      Aksiologi, ialah filsafat yang menitik beratkan masalah nilai, penyelidikan mengenai status kodrati nilai yang melekat pada sebuah insentitas.
e.       Aliran/Madzhab dalam Filsafat
1)      Rasionalisme (mementingkan akal)
2)      Empirisme (sesuai kenyataan)
3)      Kantianisme/kritikisme (kombinasi akal dan kenyataan)
4)      Vitalisme (kesungguhan menangkap materi)
5)      Fenomenology (tidak hanyadengan satu persepsi)

2.      Resume tanggal 28 September 2011
-          Empat Pendekatan Filsafat
1)      Melalui definisi
Untuk mempelajari atau mengetahui filsafat dapat dilakukan dengan mempelajari pengertian, obyek, tujuan dan cirri filsafat.
2)      Melalui sistematika
Yaitu pendekatan filsafat melalui sistematika atau susunan yang berangkat dari tiga pertanyaan Immanuel Kant tentang apa yang dapat diketahui?, apa yang dapat diharapkan? dan apa yang harus dilakukan?. Ketiga pertanyaan itu yang kemudian menghasilkan tiga wilayah besar filsafat, yaitu : wilayah pengetahuan, wilayah ada dan wilayah nilai.
3)      Melalui tokoh/aliran
Pendekatan ini diperuntukkan bagi mereka yang sudah berada ditingkat lanjut setelah menguasai peendekatan melalui definisi dan sistematika. Tokoh atau aliran filsafat diantaranya, rasionalisme ( Rene Descartes), empirisme ( David Hume dan John Locke), kritisisme (Immanuel Kant), idealism(Hegel, Fichte dan Schelling), vitalisme (Nietsche, Bergson dan Schopenhouer) dan fenomenologi (Edmund Husserl, Martin Heidegger dan Merleo Ponthy)
4)      Melalui sejarah filsafat
Pendekatan ini dapat dilihat dari buku-buku filsafat yang didalamnya terdapat sejarah tentang filsafat.
3.      Resume tanggal 5 Oktober 2011
Sejarah Perkembangan filsafat
1.      Filsafat Alam (Fase Awal)
Tumbuh dan berkembangnya filsafat tidak bias dipisahkan dari kebudayaan dan peradaban Yunani. Adapun yang melatarbelakangi lahirnya filsafat, diantaranya :
a.       Mitologi yunani, yakni kepercayaan bangsa Yunani terhadap mite yang begitu kental yang melahirkan cara berpikir kosmogonis (mencari keterangan asal-usul alam) dan kosmologis (sifat kejadian alam).
b.      Kesusastraan Yunani, adanya kitab sastra tertua Yunani (iliyas dan Odyssea) yang memiliki nilai edukasi.
c.       Pengaruh ilmu pengetahuan
Konsentrasi bangsa Yunani terhadap alam mengawali lahirnya corak filsafat dengan tokoh-tokoh, diantaranya ;
1)      Thales (642-545 SM), menyatakan bahwa kenyataan terdalam yang menjadi dasar semua kehidupan adalah air.
2)      Anaximander (610-546 SM), menyatakan bahwa kenyataan terdalam adalah sesuatu yang tanpa batas,
3)      Anaximentes (585-528 SM), menyatakan bahwa kenyataan terdalam adalah udara.
4)      Pythagoras (582-496 SM), menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah bilangan.
5)      Xenopanes (580-470 SM), menyatakan bahwa kenyataan terdalam adalah Tuhan Yang Maha Esa.
6)      Parmenides (540-475 SM), menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah yang bersifat tetap dan tidak berubah serta hanya satu.
7)      Heraklitos (535-480 SM), menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam atau segala sesuatu itu berasal dari api.
8)      Zeno (490 SM), menyatakan bahwa kenyataan yang terdalam adalah pikiran.
9)      Empedocles (492-432SM), menyatakan bahwa kenyataan terdalam adalah empat anasir yaitu air, udara, api dan tanah.
10)  Anaxagoras (499-428 SM), menyatakan bahwa kenyataan terdalam tidak hanya empat anasir tetapi juga ruh dan akal.
11)  Democritos (460-370n SM), menyatakan bahwa kenyataan terdalam bukan hanya satu tetapi atomos (tidak terbagi).

4.      Resume tanggal 12 Oktober 2011
2.      Filsafat Monumental Abad Klasik : Socrates, Plato dan Aristoteles
Fase perkembangan tahap lanjut, reaksi yang dalam bentuk kampanye pemikiran baru bahwa manusia sudah menjadi ukuran segala sesuatu, dengan kemampuan dan potensi berupa alat analisis yang dimiliki.
Reaksi dan revolusi ini yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh filosof, diantanya :
1.      Socrates (470-399 SM), dia merupakan bapak moral dan etika. Filsafatnya dikenal dengan metode  dialektika (dialog), dan metode eironia atau maieutika (melahirkan pikiran).
2.      Plato (472-347 SM), dia adalah murid dari Socrates. Gagasannya yang terkenal adalah idealisme.
3.      Aristoteles (384-322 SM), filsafatnya lebih bercorak saintifik, dan metode filsafatnya yang terkenal adalah metode empiris. Dia adalah filosof yang beraliran realisme.

5.      Resume tanggal 19 Oktober 2011
Filsafat Zaman Pertengahan dan Modern
1.      Filsafat Agama atau Zaman Pertengahan(476-1492 M)
Filsafat ini lazim disebut filasafat skolastik, karena pada saat itu penguasa karel agung mendirikan tempat-tempat untuk mengajarkan filsafat yang telah berkembang yang dipengaruhi oleh agama Islam dan kristen. Filsafat abad pertengan juga disebut sebagai abad gelap, karena tindakan gereja sangat membelenggu kehidupan manusia.
Pada abad pertengahan corak filsafat yang muncul adalah; patristic, skolastik dan gold ages of Islam. Sedangkan cirri cara berpikir filsafat abad pertengahan dipimpin oleh gereja, mengikuti pola tertentu dan berguru padatokoh suci (pendeta).
2.      Renaissance dan Aufklarung (Zaman Modern)
Filsafat ini ditandai oleh adanya gerakan atau dinamika untuk menolak atau meninggalkan hal-hal yang dianggap baru. Filsagfat pada zaman modern juga ditandai dengan lahirnya kembali pemberontakan operasi pemikiran, yakni hidupnya kembali kebebasan berpikir seperti zaman Yunani kuno.
      Filsafat pada zaman modern melahirkan pemikiran rasionalisme, empirisme, kritisisme dan politisme. Dan coraknya adalah antroposentis.
6.      Resume tanggal 26 Oktober 2011
Agama, Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Filsafat Ilmu
a.      Perbedaan antara Agama, Filsafat, Ilmu dan Filsafat Ilmu
Agama, memiliki dua unsure yaiyu penalaran dan kepercayaan. Bersifat abstrak, imanen, teologis dan tidak berdasarkan akal.
Filsafat bersifat kritis, ligis, analitis, fenomenologis, radikal, reflektif dan membongkar sampai akar-akarnya juga melihat dari segala segi.
Ilmu pengetahuan tidak seradikal filsafat (terkelompokkan) dam melihat dari satu segi saja.
Sedangkan filsafat ilmu diarahkan pada bagaimana hakikat ilmu ditemukan. Obyrek kajiannhya adalah ilmu (pengetahuan ilmiah) dan wilayah analisisnya terbatas.
b.      Persamaan antara Agama, Filsafat, Ilmu dan Filsafat Ilmu
persamaan agama, filsafat, ilmu dan filsafat ilmu adalah sama-sama mencari kebenaran.

7.      Resume tanggal 2 November 2011
Dimensi Kajian Filsafat : Epistemologi, Ontologi dan Aksiologi
1.      Epistemologi, adalah kajian filsafat yang meliputi sumber, sarana dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (berdasarkan kesesuaian antara keinginan dan kenyataan).
2.      Ontologi, adalah kajian filsafat yang meliputi hakikat ilmu berdasarkan rasio dan radikal.
3.      Aksiologi, adalah kajian filsafat yang meliputi nilai-nilai yang bersifat normative dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan.
tugas civic education Q

tugas civic education Q

07.31 0

Tugas Individu
Mata Kuliah    : Civic Education
Dosen              : Abdul Wahid, M.Sos
PENDIDIKAN DI INDONESIA DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL



Di susun Oleh :
Nama          : Wafa Nursiham
NIM            : 50100111038
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
2011

I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Secara geografis Indonesia adalah salah satu dari empat negara besar di dunia. Negara ini adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah Republik Rakyat Cina (RCC), India, dan Amerika Serikat. Secara politis Indonesia menerapkan sistem demokrasi setelah India dan Amerika Serikat. Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya sebanyak 16.000 lebih pulau (besar dan kecil). Posisi geostrategik Indonesia sangat potensial untuk menjadi negara yang berpengaruh dalam percaturan politis dan keamanan dunia.
Kenyataan yang dapat kita jumpai adalah untuk menjadi suatu negara yang sejahtera dan mampu mensejahterakan rakyatnya kualitas sumber daya manusia (SDM) memegang peran cukup penting. Kita melihat kenyataan banyak negara yang miskin sumber daya alam, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura serta sebagian besar negara-negara Eropa dapat menjadi negara makmur dan rakyatnya sejahtera karena memiliki SDM yang berkualitas.
Bila kita pelajari bagaimana mereka membangun negerinya, ternyata negara-negara ini memulai dari membangun SDM melalui pendidikan. Dalam pembangunan upaya membangun SDM melalui pendidikan adalah yang pertama harus dilaksanakan, dan bila hal ini dilakukan maka kesejahteraan rakyat akan mengikuti. Kemudian apa yang terjadi dengan pembangunan nasional kita? Inilah yang perlu kita cermati dalam rangka menempatkan pembangunan nasional ini berada pada jalur yang tepat.
Oleh karena itu, penulis merasa perlu mengangkat masalah ini sebagai bahan makalah yang ditugaskan oleh dosen mata kuliah civic education, sehingga penulis mengangkat judul “Pendidikan di Indonesia dalam Perkembangan Nasional”.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian pendidikan nasional dan pembangunan nasional?
2.      Bagaimana pendidikan nasional dan pembangunan nasional di Indonesia?
3.      Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
4.      Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
5.      Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia?













II.                PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pendidikan Nasional dan Pembangunan Nasional
-          Pendidikan Nasional
Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Untuk mewujudkan cita-cita ini, diperlukan perjuangan seluruh lapisan masyarakat.
Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[1]
-          Pembangunan Nasional
Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia secara berkelanjutan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Pelaksanaanya mengacu pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera.
Secara konseptual pembangunan adalah segala upaya yang dilakukan secara terencana dalam melakukan perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas manusia. Perbaikan taraf hidup memerlukan prakondisi yaitu intranstruktur, sarana dan prasarana yang semua ini dapat memberi pengaruh terhadap peningkatan harkat dan martabat bangsa. Harkat dan martabat bangsa ditentukan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah kemampuan dalam berbagai bidang, kompetensi, dan prilaku positif dalam berhubungan dengan lingkungannya, baik lingkungan masyarakat maupun alam sekitar.[2]
B.     Pendidikan Nasional dan Pembangunan Nasional di Indonesia
-          Pendidikan Nasional
Sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan pendidikan telah dilaksanakan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial pada awal abad keduapuluhan sebagai politik balas budi maupun oleh masyarakat. Pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial semata-mata dilakukan untuk menopang keberlangsungan pemerintah kolonial, yakni untuk mendidik calon-calon tenaga kerja atau pegawai pemerintah yang dibutuhkan pada masa itu. Kondisi seperti ini berjalan bangsa Indinesia mencapai kemerdekaan. Adapun pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat pada umumnya berlatar agama, khususnya Islam, pada umumnya dilaksanakan oleh madrasah dan pesantren. Pendidikan ini diselenggarakan untuk membentuk manusia yang beriman, berakhlak dan memiliki kemampuan untuk menjalani hidup sebagai muslin untuk mencetak kader-kader ahli agama Islam. Pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat berbentuk sistem persekolahan mengikuti model penyelenggaraan pendidikan kolonial.
Salah satu cita-cita yang ingin diwujudkan melalui Indoneasia merdeka, sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri bangsa yang tertuang dalam rumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah bentuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Cita-cita ini terinspirasi dari kenyataan pada bangsa-bangsa lain yang pada saat itu sudah relatif maju, yaitu bangsa-bangsa Eropa dan Amerika Serikat juga diikuti oleh bangsa Jepang. Bangsa-bangsa ini menunjukkan keadaan kehidupan yang lebih baik dan maju dan keadaan ini menurut para pendiri bangsa Indonesia disebabkan mereka lebih cerdas.
Pembangunan pendidikan di Orde Baru dilaksanakan selama kurun waktu antara 1966-1998. Pada awal Orde Baru, arah pemerintahan yaitu melaksanakan Pancasila adan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Hal ini juga berpengaruh kepada kebijakan pendidikan.
Pada pertengahan tahun 1970-an pemerintah mendeklarasikan pendidikan semesta. Salah satu kebijakannya adalah membangun sekolah dasar hingga ke pelosok desa berdasarkan Intruksi Presiden (Inpres) tahun 1972. Disamping itu, di setiap propinsi didirikan setidaknya sebuah universitas negeri. Untuk memperkuat pelaksanaan kebijakan tersebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum tahun 1972 menekankan tujuan pendidikan pada pembentukan manusia pembangunan yang bermoral pancasila.
Dalam rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) 25 tahun pertama (1974-1999) pendidikan menjadi prioritas di samping ekonomi. Target utama pembangunan pendidikan di masa ini adalah pendidikan dasar sembilan tahun yang semakin meluas dalam waktu 15 tahun dan perbaikan kualitas, akses dan relevansi pendidikan yang akan mengarah dan meningkatkan kualitas SDM Indonesia.
Sejak awal Orde Baru hingga awal Pelita VI sektor pendidikan mengalami perkembangan yang cukup baik secara kuantitaf. Strategi dasar pembangunan pendidikan nasional yang diperkenalkan pada Repelita II terdiri atas empat butir, yaitu : peningkatan kualitas pendidikan, pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, relevansi pendidikan dan efisiensi pendidikan. Strategi ini masih bertahan hingga Repelita VI. Namun, sejak tahun 1968 pemerintah memperkenalkan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) yakni masyarakat dibebani biaya pendidikan sejak sekolah dasar. Pada masa Orde Lama, siswa yang mengikuti pendidikan SMP, SMA dan Perguruan Tinggi hampir tidak dipungut biaya. Siswa yang mengikuti sekolah calon guru diberi ikatan dinas dan ditampung di asrama. Sementara bagi dosen diberi perumahan, dan disetipa universitas negeri dibangun asrama untuk mahasiswa.
Pada tahun 1984 pemerintah merencanakan pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar enam tahun. Pelaksanaan wajib belajar ini mencapai hasil setelah sepuluh tahun yang ditandai dengan tuntasnya wajib belajar sekolah dasar (6 tahun) pada awal tahun 1990-an. Pada tahun 1994 pemerintah merencanakan program eajib belajar pendidikan sembilan tahun, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Program ini direncanakan dapat dituntaskan dalam waktu lima tahun, sehingga pada tahun 1999 direncanakan angka partisipasi murni pendidikan SMP telah mencapai 97 persen.
Kemudian era reformasi telah membuka ruang bagi masyarakat untuk membicarakan masalah pendidikan dengan lebih baik. Antusiasi masyarakat untuk memasukkan anak ke sekolah unggulan adalah sebuah fakta adanya kompetisi pendidikan. Komitmen pemerintah pada era reformasi dalam melaksanakan pendidikan sebagai suatu program prioritas ditandai oleh besarnya alokasi anggaran belanja untuk pendidikan.
Pemerintah juga mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas. Salah satu diantaranya adalah menyediakan biaya oprasional sekolah (BOS). Pada tahun 2005 pemerintah menyediakan BOS untuk SD/MI, SMP/MTs dan satuan setingkat sebesar 5,1 triliun rupiah, dan semakin meningkat tiap tahunnya. BOS dimaksudkan untuk menutupi biaya oprasional dan mengurangi serta meniadakan biaya prendidikan yang dipungut dari orang tua siswa. Khususnya pada jenjang pendidikan dasar 9 tahun yang merupakan program wajib belajar.
Dalam rangka meningkatkan pemerataan untuk mendapat pendidikan, yang untuk saat ini diprioritaskan pada pendidikan dasar 9 tahun pemerintah juga melakukan pembangunan ruang kelas baru (RKB) pada sekolah atau madrasah yang sudah ada dan penambahan unit sekolah baru (USB) dalam jumlah besar. Rehabilitas ruang kelas dan gedung sekolah juga dilakukan oleh pemerintah. Berbagai upaya lain untuk menunjang peningkat kualitas pendidikan juga dilakukan, seperti penambahan pembangunan perpuistakaan, workshop, laboraturium IPA, laboraturium bahasa dan multimedia serta penyedian peralatan laboraturium lainnya. Berbagai program dilaksanakan untuk membantu agar anak-anak usia sekolah dapat mengakui dan peduli pada pendidikannya. [3]
-          Pembangunan Nasional di Indonesia
Sejak Indonesia menjadi sebuah negara merdeka pembangunan nasional sudah mulai dilakukan, meskipun dalam pelaksanaan pembangunan pada saat itu belum mengacu kepada suatu perencanaan jangka panjang. Pada pemerintahan kurun waktu dua puluh tahun pertamana Indonesia meredeka kekuasaan presiden sangat dominan sehingga dalam pelaksanaan pembangunanpun acuan utamanya adalah kebijakan atau ide-ide yang dikemukakan oleh presiden. Walaupun pada masa itu kita mengenal suatu konsep pembangunan nasional yang disusun belum menggunakan pola perencanaan yang sistematis dan berjangka panjang.
Pada masa pemerintahan orde baru, pembangunan nasional dilaksanakan dengan mengacu kepada suatu perencanaan yang lebih sistematis dan berjangka panjang sehingga dapat menjamin kesinambungan pelaksanaannnya. Rencana pembangunan nasional jangka panjang yang dirumuskan sejak awal masa pemerintahan Orde Baru dikenal dengan nama  Rencana pembangunan lima tahun (Repelita).
Peroide Repetika pertama yaitu tahun 1972-1997 bertujuan pembangunan secara komprehensif berbagai sektor dan bidang guna meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan pada periode berikutnya menuju Indonesia sebagai negara industri maju.pada periode repelita berikutnya 1997-2022 direncanakan bangsa Indonesia memasuki periode tinggal landas atau take off sebagai negara industri maju dan modern. Namun, krisis ekonomi yang diawali oleh krisis finansial dan berkembang menjadi krisis multidimensi telah menyebabkan sebagian besar keberhasilan pembangunan pada repelita pertama dapat dikatakan hancur. Ini menjadi indikator bahwa keberhasilan pembangunan tersebut bersifat rapuh karena tidak memiliki pondasi ekonomi yang kokoh.
Situasi krisis multidimensi memicu terjadinya reformasi, yang juga berdampak pada perubahan arah dan pola perencanaan pembangunan jangka panjang dan jangka menengah. Setelah reformasi, pembangunan pada masa tradisi mengacu pada Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang merupakan ketetapan MPR Nomor 25 Tahun 2000. Pada kurun waktu berikutnya, yaitu sejak akhir tahun 2004 atau awal tahun 2005, pembangunan nasional mengacu kepada suatu perencanaan jangka panjang, yaitu RPJP 2005-2025. Sebagaimana pada periode sebelumnya, pembangunan nasional ini dilaksanakan dalam semua aspek kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Secara garis besar lingkup pembangunan nasional meliputi sosial budaya, dan kehidupan beragama, ekonomi, sains dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyedian sarana dan prasarana, dan pengolahan sumber daya alam dan lingkungan hidup.[4]


C.    Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentunya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
D.    Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
1.       Efektifitas Pendidikan di Indonesia
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak peduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2.       Efisiensi Pengajaran di Indonesia
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di Indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pengajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
3.       Standarisasi Pendidikan di Indonesia
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standar kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standarisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Dengan adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang disayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlangsung sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi beberapa bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidak hanya sebatas yang dibahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara khusus, diantaranya :
A.     Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
B.      Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan : untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, tetapi pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
C.     Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (REPUBLIKA, RABU 13 JULI, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, seharusnya kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan bahwa sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (PIKIRAN RAKYAT, SENIN 9 JANIUARI 2006).
D.    Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
E.     Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan.
F.      Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S1 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.[5]
E.     Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah yang menjadi penyebab rendahnya pendidikan di Indonesia, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa. Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.
Sedangkan solusi secara khusus adalah sebagai berikut :
1.      Mengefektifitaskan Pendidikan di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan.
Pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
2.      Mengefesiensikan Pengajaran di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati. Sehingga dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Efisiensi ini tidak terlepas dari dua faktor, yakni faktor eksternal dan faktor internal.
Penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik merupakan efesiensi eksternal yang cenderung melahirkan suatu sistem yang makro dan tidak memperhitungkan kebutuhan daerah yang beragam. Desentralisasi manajemen juga tidak dengan sendirinya akan meningkatkan efesiensi eksternal pendidikan. Percobaan di beberapa negara maupun Indonesia dengan proyek STEPPES menunjukkan bahwa pendidikan dasar akan meningkatkan efisiensi eksternal karena masyarakat lokal mengetahui benar kebutuhannya.
Sebab-sebab rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan dasar di Indonesia ditunjukkan oleh masih tingginya angka repetisi dan angka drop out. Sebab-sebab dari drop out yang tinggi juga disebabkan oleh manajemen yang terlalu sentralistik, kurang memperhatikan keterbatasan kemampuan ekonomi orang tua, atau faktor kemiskinan. Manajemen pendidikan yang didestralisasi akan lebih mampu memantau tingginya angka drop out sehingga dapat dilakukan langkah-langkah penanggulangan.[6]
3.      Tersedianya Kualitas Sarana Fisik yang Memadai
Tersedianya sarana yang memadai sangat mendukung dalam mewujudkan pembangunan pendidikan nasional. Dengan tersedianya sarana yang memadai maka pendidik dan peserta didik pun akan merasa nyaman dalam proses belajar mengajar.
Oleh sebab itu, maka perlu adanya perhatian dari pemerintah dan masyarakat dalam menyediakan sarana yang memadai di setiap sekolah-sekolah baik di pedesaan maupun perkotaan. Kemudian perlu juga dikembangkan dan didirikan serta ditingkatkann sarana pendukung seperti laboraturium-laboraturium dan perpustakaan.
4.      Meningkatkan Kualitas dan Keprofesionalan Guru
Dalam bidang profesi seorang guru profesional berfungsi untuk mengajar, mendidik, melatih, dan melaksanakan penelitian masalah-masalah kependidikan. Dalam rangka melaksanakan tugas-tugasnya, guru profesional haruslah memiliki berbagai kompetensi. Kompetensi-kompetensi guru profesional antara lain meliputi : kemampuan untuk mengembangkan pribadi peserta didik, khususnya kemampuan intelektual, serta membawa pendidik menjadi anggota masyarakat Indonesia yang bersatu berdasarkan pancasila. Dalam rangka melaksanakan tugas tersebut, seorang guru profesional tentunya harus menguasai filsafah pendidikan nasional, mengetahui pengetahuan yang luas khususnya bahan pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik, serta memiliki kemampuan teknis dalam penyusunan program pengajaran dan melaksanakannya.
Seorang guru profesional harus dapat mengadakan evaluasi di dalam proses belajar mengajarnya, dan membimbing peserta didik untuk mencapai tujuan program belajar dan mengajar. Selain itu seorang guru profesional harus menjadi seorang yang administratif, baik di dalam administrasi proses belajar mengajar maupun di dalam kemampuan manajerial dalam lingkungan sekolah. Seorang guru juga harus komunikatif, ia harus dapat berkomunikasi dengan peserta didiknya dalam upaya untuk mengembangklan pribadi peserta didiknya. Dan guru profesional pun harus mampu mengadakan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan peningkatan profesional seorang pendidik.
Oleh sebab itu, seorang guru perlu diberi arahan dalam pelaksanaan belajar mengajar dan harus memiliki pendidikan yang menunjang keprofesionalannya. Salah satunya dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Seorang guru juga harus diberi imbalan gaji yang tinggi dengan jalan memberikan penghargaan yang menarik, sama dengan yang dinikmati oleh profesi-profesi modern lainnya.[7]
5.      Meningkatkan Prestasi Siswa
Meningkatkan prestasi siswa dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya. Sehingga, seorang pendidik hendaknya menggunakan metode yang sekiranya mudah untuk dicerna oleh peserta didik, materi pembelajarannya juga harus disesuaikan, karna kapasitas seorang peserta didik berbeda-beda, sehingga menurut saya tidak perlu adanya UAN, sebab kemampuan dan pembelajaran di pedesaan dan perkotaan tidak sama sedangkan pada UAN itu soalnya sama rata baik untuk siswa di pedesaan maupun perkotaan, padahal yang mengetahui kemampuan peserta didik adalah gurunya sendiri.
Kemudian sarana dan alat-alat peraga pun harus memadai, karena dengan adanya alat peraga juga sarana maka peserta didik akan lebih cepat mengangkap pembelajaran.
6.      Memberikan Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan ini.
Dalam memberikan pemerataan kesempatan pendidikan dapat dilakukan dengan pemerataan pembangunan sekolah baik di pedesaan terpencil maupun kota. Salah satunya dengan adanya Program Kawasan Terpadu (PKT) pada daerah-daerah perkotaan ataupun pedesaan. Kemudian pemerataan  ini dapat dilakukan dengan penanggulangan kemiskinan dengan adanya intervensi dana pemerintah (pusat dan daerah), dengan adanya kelembagaan yang cocok bagi penyampaian pelayanan yang langsung kepada golongan miskin dan dengan melibatkan partisipasi langsung masyarakat yang terlibat. Pemerataan ini juga dapat dilakukan dengan meningkatkan martabat dan kualitas manusia.[8]
.          


III.             PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
2.      Pendidikan nasional dalam pembangunan nasional di Indonesia masih belum mencapai kemajuan yang pesat dan masih jauh dari kesempurnaan. Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain.
3.      Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
4.      Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standarisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu: rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan.
5.      Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa. Solusi lain yang dapat diberikan adalah : mengefektifitaskan pendidikan di Indonesia, mengefisiensikan pendidikan di Indinesia, menstandarisasikan pendidikan di Indonesia, meningkatkan kualitas dan keprofesionalan guru, meningkatkan sarana fisik, meningkatkan prestasi siswa, dan memberikan kesempatan pemerataan pendidikan.
B.     Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.
Pendidikan merupakan upaya yang paling epektif dalam mengatasi kendala keterbatasan kemampuan. Sehingga pemerintah dan anggota masyarakat hendaknya siap berpartisifasi dalam proses pembangunan untuk mewujudkan visi pembangunan khususnya dalam pendidikan. Melalui pendidikan selain dapat diberikan bekal berbagai pengetahuan, kemampuan dan sikap juga dapat dikembangkan berbagai kemampuan yang dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat sehingga dapat berpartisifasi dalam pembangunan nasional.





DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad.  Pendidikan untuk Pembangunan Nasional, Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi ; Imtima, Bandung, 2009.
Tilaar, Prof. DR. H.A.R., M. Sc.Ed. Manajemen Pendidikan Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan ; PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003.
______ Membenahi Pendidikan Nasional ; PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2002.











[1] Mohammad Ali, Pendidikan untuk Pembangunan Nasional Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi (cet I; Bandung : PT Imperial Bakhti Utama, 2009), hal 332
[2] Mohammad Ali, Pendidikan untuk Pembangunan Nasional Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi (cet I; Bandung : PT Imperial Bakhti Utama, 2009), hal 31
[3] Mohammad Ali, Pendidikan untuk Pembangunan Nasional Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi (cet I;Bandunng : PT Imperial Bhakti Utama, 2009), hal 12-20 (rangkuman)
[4] Mohammad Ali, Pendidikan untuk Pembangunan Nasional Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi (cet I;Bandunng : PT Imperial Bhakti Utama, 2009), hal 25-32 (rangkuman)
[6] World Bank Development Report 1990, POVERTY, Chap. 5 Delivering Social Services to the Poor, hal 74-89
[7] Prof. DR. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed, Membenahi Pendidikan Nasional (cet. I; Jakarta : PT Rineka Cipta, 2002), hal 86-90(rangkuman)
[8] Prof. DR. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed, Manajemen Pendidikan Nasional (cet. VI;Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003), hal 103-106