Tugas
Individu
Mata
Kuliah : Pengantar Sosiologi
Dosen : Dr. Syamsuddin AB, S.Ag, M.Pd
KONFLIK SOSIAL BERNUANSA AGAMA DI INDONESIA
OLEH
WAFA NURSIHAM
50100111038
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2011
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah SWT. Tuhan
yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan yang senantiasa melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penyusunan
makalah ini dapat saya selesaikan.
Makalah yang berjudul “Konflik
Sosial Bernuansa Agama di Indonesia” ini disusun untuk memenuhi salah
satu tugas pada mata kuliah Pengantar Sosiologi.
Tak ada gading yang tak retak.
Pepatah itu mungkin cukup mewakili kesadaran saya akan kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, harapan saya kepada Bapak Dosen
kiranya sudi memberikan kritik dan saran agar penyusunan makalah selanjutnya
bisa lebih baik.
Terima kasih saya sampaikan kepada
Bapak Dr. Syamsuddin AB, S.Ag, M.Pd selaku dosen mata kuliah Pengantar
Sosiologi yang telah membimbing dan memberikan kuliah demi lancarnya tugas ini.
Demikianlah makalah ini saya susun,
semoga bermanfaat.
Samata , Mei 2012
Wafa Nursiham
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
B.
Rumusan Masalah
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertain
Agama dan Fungsi Agama dalam Masyarakat
B.
Peranan Agama
dalam Masyarakat
C.
Penyebab
Konflik-Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia
D.
Solusi dari
Konflik-Konflik Sosial Bernuansa Agama
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTRA PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Keberadaan
negara dan bangsa merupakan kesepakatan final dari para founding father, sebagai bentuk pengakuan terhadap pluralitas yang
menjadi pilar tegaknya negara Indonesia. Dengan tegas pengakuan kemajemukan ini
tertuang dalam lambang negara Bhinneka
Tunggal Ika. Kemajemukan ini telah melahirkan perpaduan yang indah dalam
berbagai bentuk mozaik budaya.[1]
Namun
dalam kehidupan sosial, manusia mempunyai kecenderungan yang mengembangkan
batas-batas antara kelompok-kelompok dan menghancurkan batas-batas ini guna
membentuk asosiasi yang lebih luas. Dalam agama, proses ini tampak pada pemfraksionalisasian
agama oleh batas-batas bangunan melalui denominasionalisme dan dalam
pelanggaran batas-batas itu melalui aliran ekumenisme.[2]
Sehingga peristiwa konflik atau kerusuhan tak jarang terjadi di beberapa daerah
di Indonesia, baik dalam eskalasi kecil maupun besar dengan membawa korban
harta, manusia, bangunan perkantoran danlain sebagainya, sehingga menghancurkan
sendi-sendi kemanusiaan dan kebangsaan kita.
Nampaknya
kerusuhan sosial telah menjadi gejala yuang umum bagi perjalanan hidup bangsa
Indonesia, yang salah satu faktor penyebab atau kejadiannya itu dipicu dari
konflik yang bernuansa agama. Sehingga penyusun merasa perlu untuk membahas “Konflik Bernuansa Agama Di Indonesia”
ini sebagai bahan makalah yang di tugaskan pada mata kuliah Pengantar
Sosiologi.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian agama dan fungsi agama dalam masyarakat?
2. Bagaimana
pengaruh agama terhadap golongan masyarakat?
3. Mengapa
konflik-konflik sosial bernuansa agama terjadi di daerah-daerah Indonesia?
4. Bagaimana
solusi dari konflik-konflik sosial yang
bernuansa agama?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Agama dan Fungsi Agama dalam Masyarakat
Menurut
Hendropuspito, agama adalah suatu jenis
sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada
kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk
mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarak luas umumnya.[3]
Dalam
kamus sosiologi, pengertian agama ada
tiga macam, yaitu ; (1) kepercayaan pada
hal-hal yang spiritual, (2) perangkat
kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan
tersendiri, dan (3) ideologi mengenai
hal-hal yang bersifat supranatural.[4]
Thomas
F. O’Dea mengatakan bahwa agama adalah
pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non-empiris atau
supra –empiris.[5]
Adapun
yang dimaksud dengan fungsi agama adalah peran agama dalam mengatasi
persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan
secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.
Thomas F. O’Dea menuliskan enam fungsi agama, yaitu:[6]
1. Sebagai
pendukung, pelipur lara dan perekonsiliasi,
2. Sarana
hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara ibadat,
3. Penguat
norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada,
4. Pengkoreksi
fungsi yang sudah ada,
5. Pemberi
identitas diri, dan
6. Pendewasaan
agama.
Fungsi
agama yang dijelaskan Hendropuspito lebih ringkas lagi, tetapi intinya hampir
sama. Menurutnya, fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan
sosial, memupuk persaudaraan dan transpormatif.
B.
Pengaruh
Agama terhadap Golongan Masyarakat
Untuk
mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang perlu
dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu
merupakan fenomena sosial yang kompleks dan terpadu yang pengaruhnya dapat
diamati pada perilaku manusia.
Nottingham
menjelaskan secara umum tentang hubungan agama dengan masyarakat, yang
menurutnya terbagi atas tipe-tipe di bawah ini:
1. Masyarakat
yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe masyarakat ini kecil, terisolasi
dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada
lembaga lain yang relatif berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi
fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyarakat
secara keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan agama memasukkan pengaruh yang
sakral ke dalam sistem nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.
2. Masyarakat
praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada
perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama
memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini.
Tetapi pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekuler
sedikit-banyak masih dapat dibedakan. Misalnya pada fase-fase kehidupan sosial
masih diisi uapacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisis kehidupan lain, pada
aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah
adat istiadat saja. Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus
utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan, dan pembentukan citra
pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya, anggota
masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode empiris yang berdasarkan
penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah-masalah kemanusiaan sehingga
lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas.
Wallace
berpandangan bahwa agama berperan dalam tiga kawasan kehidupan manusia, sebagai
berikut:
Kawasan
pertama adalah kawasan yang kebutuhan
manusiawi dapat dipenuhi dengan kekuatan manusia sendiri. Dalam hal ini manusia
yang satu tidak sama dengan manusia yang lain. Bagi manusia yang masih
berbudaya premitif, kawasan ini lebih sempit karena kemampuan dan pengetahuan
mereka yang terbatas. Mereka lebih mudah lari kepada hal-hal magis atau
kekuatan gaib bila pengetahuannya tidak bisa memecahkan persoalan hidupnya.
Tetapi manusia modern dengan ilmu dan teknologinya memiliki kawasan yang lebih
luas. Mereka dapat menyelesaikan berbagai persoalan dengan kemampuan akal
budinya.
Kawasan
kedua meliputi wilayah yang manusia
merasa aman secara moral. Tingkah laku dan tata pergaulan manusia di atur lewat
norma-norma rasional yang dibenarkan agama, seperti norma sopan santun, norma
hukum serta aturan-aturan dalam masyarakat.
Kawasan
keetiga merupakan daerah manusia yang
secara total mengalami ketidakmampuannya. Usaha manusiawi di daerah ini
mengalami suatu titik putus yang tidak dapat dilalui. Hal itu kemudian
memdorong manusia mencari kekuatan lain di luar dari dirinya, yaitu kekuatan
adikodrati. Maka terciptalah berbagai upacara ritual untuk berkomunikasi dengan
kekuatan itu.dengan itu manusia meyakini dirinya sanggup mengatasi problem yang
paling memdasar berupa ketidakpastian, ketidakmampuan, dan kelangkaan sehingga
manusia merasa menemukan kepastian, keamanan, dan jaminan.[7]
C.
Penyebab
Konflik-Konflik Sosial Bernuansa Agama yang Terjadi di Indonesia
Konflik-konflik
sosial di Indonesia dari tahun 1996 tercatat beberapa peristiwanya baik yang
bernuansa agama maupun sosial. Sedangkan konflik itu sendiri merupakan salah
satu bentuk interaksi sosial.
Menurut
Smelser ada beberapa faktor yang menyebabkan suatu konflik dengan kerusuhan
ataupun perilaku kekerasan kolektif:[8]
a. Kesesuaian
struktural masyarakat
b. Ketegangan
struktural: perasaan adanya ketidakadilan dalam masyarakat.
c. Kemunculan
dan penyebaran pandangan.
d. Faktor
pemercepat: situasi dan kondisi yang mendesak.
e. Mobilisasi
tindakan para pemimpin memulai, menyarankan dan mengarahkan suatu kegiatan.
f. Runtuhnya
kontrol sosial
Ø Konflik agama menurut ibnu kholdun
Berbeda dari kebangkitan awal yang
lebih berwatak moral dan spiritual, kebangkitan agama akhir-akhir ini yang di
Barat populer dengan istilah NRMs (newreligious movements) telah berbaur dengan
semangat pencarian dan pengukuhan identitas etnis dan suku yang kemudian
berkait dengan perebutan kekuasaan politik. Untuk konteks Indonesia barangkali
bisa ditambahkan dengan upaya memperkukuh identitas partai dalam rangka meraih
simpatisan dan pengikut sebanyak mungkin untuk memenangkan pemilu.
Secara garis besar, antagonisme yang
berkembang diseputar agama terjadi pada dua tingkat: pertama , ketegangan yang berkembang di kalangan umat setiap agama,
dan kedua ketegangan yang terjadi
antar umat beragama. Banyak orang yang beranggapan bahwa akar ketegangan
bersumber dari lingkungan teologis atau beda pandang dalam memahami norma
agama. Sampai pada tingkat tertentu, mengingat agama mempunyai identitas yang
bersifat “eksklusif”, “partikularis”dan “primordial”, anggapan ini mempunyai
logika yang sulit dibantah.
Menariknya, meskipun sekian banyak
kritik bahkan hujatan ditujukan kepada agama,namun hingga kini masih cukup
banyak agama yang bisa mempertahankan keberadaan atau eksistensinya. Ini tentu
saja menunjukkan adanya titik –titik fungsional dari agama yang masih
dibutuhkan masyarakat.Titik-titik fungsional agama tersebut dapat dilihat dari
sederetan hasil kajian seperti dalam the protestant ethic and the spirit of
capitalism karya max weber, Tukugawa religion oleh Robert N.Bellah ,atau
Islamic Roots of Capitalism, Egypt, 1760-1840 oleh Peter Gran,dan lain
sebagainya.
Kontras
antara wilayah-wilayah tradisi agama yang kuat dan tidak, bukanlah serta merta
menunjukkan secara esensial entitas kekerasan karena agama .Apa yang fenomenal
belum atau tidak menjelaskan yang esensial.Artinya,agama tidak bisa dipandang
secara sempit sebagai hal yang lebih memicu kekerasan,konflik dan pertikaian
brutal.
Namun, dalam banyak hal, realitas
menunjukkan bahwa ketegangan yang terjadi di antara umat beragama, justru
berkaitan erat dengan faktor-faktor yang berada “di luar” lingkup agama.
Utamanya, faktor kepentingan individu maupun kolektif, baik bersifat sosial, budaya,
ekonomi maupun politik. Ketegangan-ketegangan yang terjadi di Asia khususnya,
dan kawasan lain umumnya yang sering dibungkus dengan baju agama pada dasarnya
lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi, dan
politik. Itu semua adalah variabel yang
berada ”di luar” lingkup agama.
Konflik agama di Ambon (Maluku) misalnya,
bila dilihat latar sosio-historisnya maka jelas terjadi konflik kepentingan
baik ekonomi maupun politik yang melibatkan dua umat beragama yang berbeda
disana.
Pada zaman kolonialisme, karena letak
geografisnya yang strategis dan kekayaan Sumber Daya Alamnya, kepulauan Maluku
menjadi daya tarik bagi banyak negara Eropa untuk menguasainya.Pada sekitar
tahun 1512 orang fortugis masuk ke Hitu di pulau Ambon. Di samping portugis,
juga masuk Inggris, Spayol dan Belanda. Kolonialisme portugis tidak bertahan
lama, orang-orang Inggris dan Belanda mencoba merebut Maluku. Maret tahun 1598
kapal-kapal Belanda pertama kali tiba di Maluku.
Sejak zaman kolonialisme inilah
agama kristen mulai menyebar luas, terutama di wilayah selatan. Sedangkan di
bagian utara, karena pengaruh kuat kerajaan Tidore penduduknya banyak yang
memeluk agama Islam. Gambaran ini juga tampak jelas terjadi di pulau Ambon.
Pada bagian utara yang disebut Jazirah Leihitu mayoritas warganya Muslim. Sedangkan
bagian selatan dinamai Jazirah Leitimur yang dihuni oleh mayoritas penduduk
kristen. Disparitas kelompok agama dengan kawasan pemukiman mulai
terkotak-kotak.
Pada zaman Belanda polarisasi
masyarakat Maluku sudah terbentuk. Penduduk yang beragama kristen cenderung
bekerja di lingkungan ambtenaar dan
militer. Sedangkan yang muslim lebih memilih bekerja di bidang pertanian dan
perdagangan bersama dengan pendatang dari Bugis, Makassar, Jawa, Cina dan Arab.
Benih konflik mulai bersemi. Belanda
yang memakai politik devide et empera,
secara diskriminatif justru mendorong pembangunan pendidikan di Maluku Aelatan
yang Protestan. Sejak itu terbentuklah suatu segregasi wilayah berbasis agama
di kepulauan Maluku. Belanda sebenarnya telah menanam bom waktu yang sampai
sekarang terus menyimpan hulu ledak yang sewaktu-waktu meledak. Bukan hanya
dalam perebutan kesempatan pendidikan dan lowongan pekerjaan, tapi juga dalam
pergesekan sosial, ekonomi dan politik di Maluku.[9]
Menurut Ibnu Khaldun ada tiga aspek yang menyulut munculnya
konflik bernuansa agama:[10]
1)
Konsekuensi Logis Ashabiyah
Ashobiyah yang diekspresikan
melalui rasa cinta pada Kelompok (Primordialisme) yang muncul di dalam
kelompok/etnis, dalam beberapa hal memunculkan rasa primordialisme (bahkan lebih
ekstrim adalah chauvinism) menjadi pemicu bagi pertentangan dengan
kelompok/etnis yg lain (The Otherness).
Konsekuensi lain dari sifat
manusia di atas adalah agresifitas mereka, merupakan aspek laten dari
primordialisme yang dipicu oleh aspek eksternal, meliputi kepentingan untuk
memenuhi kebutuhan dasar suatu kelompok
Faktor pertama sebagaimana dijelaskan oleh Khaldun lebih
banyak mengambil konteks masyarakat badawa yang masih memiliki pola hidup
sederhana, kebutuhan dasar juga sederhana seperti pemenuhan kebutuhan dasar.
Sedang orientasi tertinggi mereka adalah penguasaan terhadap suku lain dan
penguasaan terhadap sumber-sumber produksi (sumur/sumber air, pasar, tanah).
2) Faktor
Politik
Pada aspek ini, konflik muncul karena motif mempertahankan
kelompok, dinasti dan kerajaan/negara. Raja/pemimpin mempertahankan
kerajaan/negara karena mereka menginginkan kekuasaan negara yang damai,
sehingga mereka dapat membangun negara dengan lancar.
Pada masyarakat yang lebih kompleks, faktor politik juga
muncul pada pertentangan antara kepentingan berbagai kelompok (yang –tentunya-
telah bersifat heterogen) untuk memimpin tampuk kekuasaan
3) Faktor
Ekonomi
Faktor yang terakhir lebih disebabkan oleh kepentingan penguasaan
terhadap sumber-sumer produksi, dan penguasaan terhadap pasar. Pada konteks Ibn
Khaldun, ia tidak mengandaikan adanya penguasaan modal oleh pemodal atau
penguasa dan penguasaan tanah oleh landlord (tuan tanah) yang
umumnya telah menjadi konteks bagi masyarakat Modern (Abad ke 20)
D.
Solusi
terhadap Konflik-Konflik Bernuansa Agama
Menurut
Simmel, konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial dasar, yang
prosesnya terkait dengan bentuk-bentuk alternatif, seperti kerjasama dalam
berbagai acara yang atk terhitung jumlahnya dan bersifat kompleks. Konflik
sebagai gejala alamiah yang melekat dalam masyarakat memang tidak bisa
dihilangkan, namun tidak berarti harus dibiarkan berkembang. Betapapun kecilnya
konflik, harus diredam, atau sekurang-kurangnya tidak dibiarkan berlarut-larut.[11]
Ada
beberapa langkah penting dan strategis untuk memupuk jiwa toleransi beragama
dan membudidayakan hidup rukun antar ummat beragama. Langkah-langkah berikut
paling tidak akan meminimalkan kalau tidak bisa menghilanggkan konflik agama.
Kiat-kiat itu adalah sebagai berikut :[12]
1. Menonjolkan
segi-segi persamaan dalam agama, tidak memperdebatkaan segi-segi perbedaan
dalam agama.
2. Melakukan
kegiatan sosial yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda.
3. Mengubah
orientasi pendidikan agama yang menekankan aspek sektoral fiqhiyah menjadi pendidikan agama yang berorientasi pada
pengembangan aspek universal-rabbaniyah.
4. Meningkatkan
pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki budi pekerti
yang luhur dan akhlakul karimah.
5. Menghindari
jauh-jauh sikap egoisme dalam beragama sehingga mengklaim diri yang paling
benar.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Agama
adalah kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang didayagunakan oleh
penganutnya untuk keselamatan dunia dan akhirat. Sedangkan fungsi agama adalah
edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan dan
transpormatif, sebagai pendukung, pelipur lara dan perekonsiliasi, penguat
norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada, Pengkoreksi fungsi yang sudah ada
2. Pengaruh
agama terhadap masyarakat adalah agama sebagai kebutuhan manusiawi, agama
memberi rasa aman secara moral dan agama merupakan kekuatan luar diri manusia.
3. Penyebab
konflik bernuansa agama di Indonesia adalah: ketegangan struktural(perasaan
adanya ketidakadilan dalam masyarakat), kemunculan dan penyebaran pandangan,
faktor pemercepat(situasi dan kondisi yang mendesak), mobilisasi tindakan para
pemimpin memulai, menyarankan dan mengarahkan suatu kegiatan dan runtuhnya
kontrol sosial.
4. Solusi
terhadap konflik yang terjadi di Indonesia adalah Menonjolkan segi-segi
persamaan dalam agama, tidak memperdebatkaan segi-segi perbedaan dalam agama
dan menghindari jauh-jauh sikap egoisme dalam beragama sehingga mengklaim diri
yang paling benar(panatisme).
DAFTAR
PUSTAKA
DEPARTEMEN AGAMA
RI. Konflik Sosial Bernuansa Agama di
Indonesia. Jakarta: DEPAG RI,2003.
Ikhwan, Hakimul
Affandi. Akar Konflik Sepanjang Zaman Elaborasi Pemikiaran Ibnu Khaldun.
Yogyakarta: Puataka Pelajar Offset, 2004.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset, 2009.
Ram, Aminuddin
dan Sobari, Tita, terjemahan Sociology,
Sixth Edition, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, TT.
[1]Titik Suwariyati,
Konflik-Konflik Sosial Bernuansa Agama di
Berbagai Komunitas dalam buku Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia
(Jakarta: Depag RI, dkk, 2003), hal 1
[2]Aminuddin Ram dan
Tita Sobari, terjemahan Sociology, Sixth
Edition (Jakarta;PT Gelora Aksara Pratama), hal 319
[3]
Dadang
Kahmad, Sosiologi Agama (Cet. V;
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2009), hal 129
[6]Ibid,hal 130
[7]
Dadang
Kahmad, Sosiologi Agama (Cet. V;
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2009), hal 121
[8]
Titik
Suwariyati, op.cit., hal 6
[9]
Ikhwan,
Hakimul Affandi. Akar Konflik Sepanjang Zaman Elaborasi Pemikiaran Ibnu Khaldun.
Yogyakarta: Puataka Pelajar Offset, 2004
[10]http://sophiasciencia.wordpress.com/2012/03/29/teori-ashobiyah-dan-teori-konflik-menurut-ibn
khaldun/
[11] Umar Surur, Konflik Sosial Bernuansa SARA Berbagai Komunitas
Etnik di Kalimantan Barat dalam buku Konflik Sosial Bernuansa Agama di
Indonesia (Jakarta; DEPAG RI, 2003), hal 26
[12] Dadang Kahmad, op.cit), hal 151-152
EmoticonEmoticon