tugas pengantar sosiologi Q

07.22


Tugas Individu
Mata Kuliah   : Pengantar Sosiologi
Dosen             : Dr. Syamsuddin AB, S.Ag, M.Pd


KONFLIK SOSIAL BERNUANSA AGAMA DI INDONESIA

UIN ALAUDDIN MAKASSAR.jpg
 










OLEH

WAFA NURSIHAM
50100111038



JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2011

KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi Allah SWT. Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya  sehingga penyusunan makalah ini dapat saya selesaikan.
Makalah yang berjudul Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Pengantar Sosiologi.
Tak ada gading yang tak retak. Pepatah itu mungkin cukup mewakili kesadaran saya akan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, harapan saya kepada Bapak Dosen kiranya sudi memberikan kritik dan saran agar penyusunan makalah selanjutnya bisa lebih baik.
Terima kasih saya sampaikan kepada Bapak Dr. Syamsuddin AB, S.Ag, M.Pd selaku dosen mata kuliah Pengantar Sosiologi yang telah membimbing dan memberikan kuliah demi lancarnya tugas ini.
Demikianlah makalah ini saya susun, semoga bermanfaat.

Samata ,  Mei 2012

     Wafa Nursiham




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I       PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
B.      Rumusan Masalah
BAB II     PEMBAHASAN
A.       Pengertain Agama dan Fungsi Agama dalam Masyarakat
B.       Peranan Agama dalam Masyarakat
C.       Penyebab Konflik-Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia
D.       Solusi dari Konflik-Konflik Sosial Bernuansa Agama
BAB III    PENUTUP
A.    Kesimpulan
DAFTRA PUSTAKA








BAB  I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Keberadaan negara dan bangsa merupakan kesepakatan final dari para founding father, sebagai bentuk pengakuan terhadap pluralitas yang menjadi pilar tegaknya negara Indonesia. Dengan tegas pengakuan kemajemukan ini tertuang dalam lambang negara Bhinneka Tunggal Ika. Kemajemukan ini telah melahirkan perpaduan yang indah dalam berbagai bentuk mozaik budaya.[1]
Namun dalam kehidupan sosial, manusia mempunyai kecenderungan yang mengembangkan batas-batas antara kelompok-kelompok dan menghancurkan batas-batas ini guna membentuk asosiasi yang lebih luas. Dalam agama, proses ini tampak pada pemfraksionalisasian agama oleh batas-batas bangunan melalui denominasionalisme dan dalam pelanggaran batas-batas itu melalui aliran ekumenisme.[2] Sehingga peristiwa konflik atau kerusuhan tak jarang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, baik dalam eskalasi kecil maupun besar dengan membawa korban harta, manusia, bangunan perkantoran danlain sebagainya, sehingga menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan dan kebangsaan kita.
Nampaknya kerusuhan sosial telah menjadi gejala yuang umum bagi perjalanan hidup bangsa Indonesia, yang salah satu faktor penyebab atau kejadiannya itu dipicu dari konflik yang bernuansa agama. Sehingga penyusun merasa perlu untuk membahas “Konflik Bernuansa Agama Di Indonesia” ini sebagai bahan makalah yang di tugaskan pada mata kuliah Pengantar Sosiologi. 

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian agama dan fungsi agama dalam masyarakat?
2.      Bagaimana pengaruh agama terhadap golongan masyarakat?
3.      Mengapa konflik-konflik sosial bernuansa agama terjadi di daerah-daerah Indonesia?
4.      Bagaimana solusi dari  konflik-konflik sosial yang bernuansa agama?















BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Agama dan Fungsi Agama dalam Masyarakat
Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarak luas umumnya.[3]
Dalam kamus sosiologi, pengertian agama ada tiga macam, yaitu ; (1) kepercayaan pada hal-hal yang spiritual, (2) perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri, dan (3) ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural.[4]
Thomas F. O’Dea mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non-empiris atau supra –empiris.[5]
Adapun yang dimaksud dengan fungsi agama adalah peran agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.
Thomas  F. O’Dea menuliskan enam fungsi agama, yaitu:[6]
1.      Sebagai pendukung, pelipur lara dan perekonsiliasi,
2.      Sarana hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara ibadat,
3.      Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada,
4.      Pengkoreksi fungsi yang sudah ada,
5.      Pemberi identitas diri, dan
6.      Pendewasaan agama.
Fungsi agama yang dijelaskan Hendropuspito lebih ringkas lagi, tetapi intinya hampir sama. Menurutnya, fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan dan transpormatif.
B.     Pengaruh Agama terhadap Golongan Masyarakat
Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang perlu dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan fenomena sosial yang kompleks dan terpadu yang pengaruhnya dapat diamati pada perilaku manusia.
Nottingham menjelaskan secara umum tentang hubungan agama dengan masyarakat, yang menurutnya terbagi atas tipe-tipe di bawah ini:
1.      Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe masyarakat ini kecil, terisolasi dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang relatif berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan agama memasukkan pengaruh yang sakral ke dalam sistem nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.
2.      Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekuler sedikit-banyak masih dapat dibedakan. Misalnya pada fase-fase kehidupan sosial masih diisi uapacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisis kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah adat istiadat saja. Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan, dan pembentukan citra pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya, anggota masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode empiris yang berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah-masalah kemanusiaan sehingga lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas.
Wallace berpandangan bahwa agama berperan dalam tiga kawasan kehidupan manusia, sebagai berikut:
Kawasan pertama adalah kawasan yang kebutuhan manusiawi dapat dipenuhi dengan kekuatan manusia sendiri. Dalam hal ini manusia yang satu tidak sama dengan manusia yang lain. Bagi manusia yang masih berbudaya premitif, kawasan ini lebih sempit karena kemampuan dan pengetahuan mereka yang terbatas. Mereka lebih mudah lari kepada hal-hal magis atau kekuatan gaib bila pengetahuannya tidak bisa memecahkan persoalan hidupnya. Tetapi manusia modern dengan ilmu dan teknologinya memiliki kawasan yang lebih luas. Mereka dapat menyelesaikan berbagai persoalan dengan kemampuan akal budinya.
Kawasan kedua meliputi wilayah yang manusia merasa aman secara moral. Tingkah laku dan tata pergaulan manusia di atur lewat norma-norma rasional yang dibenarkan agama, seperti norma sopan santun, norma hukum serta aturan-aturan dalam masyarakat.
Kawasan keetiga merupakan daerah manusia yang secara total mengalami ketidakmampuannya. Usaha manusiawi di daerah ini mengalami suatu titik putus yang tidak dapat dilalui. Hal itu kemudian memdorong manusia mencari kekuatan lain di luar dari dirinya, yaitu kekuatan adikodrati. Maka terciptalah berbagai upacara ritual untuk berkomunikasi dengan kekuatan itu.dengan itu manusia meyakini dirinya sanggup mengatasi problem yang paling memdasar berupa ketidakpastian, ketidakmampuan, dan kelangkaan sehingga manusia merasa menemukan kepastian, keamanan, dan jaminan.[7]
C.    Penyebab Konflik-Konflik Sosial Bernuansa Agama yang Terjadi di Indonesia
Konflik-konflik sosial di Indonesia dari tahun 1996 tercatat beberapa peristiwanya baik yang bernuansa agama maupun sosial. Sedangkan konflik itu sendiri merupakan salah satu bentuk interaksi sosial.
Menurut Smelser ada beberapa faktor yang menyebabkan suatu konflik dengan kerusuhan ataupun perilaku kekerasan kolektif:[8]
a.       Kesesuaian struktural masyarakat
b.      Ketegangan struktural: perasaan adanya ketidakadilan dalam masyarakat.
c.       Kemunculan dan penyebaran pandangan.
d.      Faktor pemercepat: situasi dan kondisi yang mendesak.
e.       Mobilisasi tindakan para pemimpin memulai, menyarankan dan mengarahkan suatu kegiatan.
f.       Runtuhnya kontrol sosial
Ø  Konflik  agama menurut ibnu kholdun
            Berbeda dari kebangkitan awal yang lebih berwatak moral dan spiritual, kebangkitan agama akhir-akhir ini yang di Barat populer dengan istilah NRMs (newreligious movements) telah berbaur dengan semangat pencarian dan pengukuhan identitas etnis dan suku yang kemudian berkait dengan perebutan kekuasaan politik. Untuk konteks Indonesia barangkali bisa ditambahkan dengan upaya memperkukuh identitas partai dalam rangka meraih simpatisan dan pengikut sebanyak mungkin untuk memenangkan pemilu.
            Secara garis besar, antagonisme yang berkembang diseputar agama terjadi pada dua tingkat: pertama , ketegangan yang berkembang di kalangan umat setiap agama, dan kedua ketegangan yang terjadi antar umat beragama. Banyak orang yang beranggapan bahwa akar ketegangan bersumber dari lingkungan teologis atau beda pandang dalam memahami norma agama. Sampai pada tingkat tertentu, mengingat agama mempunyai identitas yang bersifat “eksklusif”, “partikularis”dan “primordial”, anggapan ini mempunyai logika yang sulit dibantah.
            Menariknya, meskipun sekian banyak kritik bahkan hujatan ditujukan kepada agama,namun hingga kini masih cukup banyak agama yang bisa mempertahankan keberadaan atau eksistensinya. Ini tentu saja menunjukkan adanya titik –titik fungsional dari agama yang masih dibutuhkan masyarakat.Titik-titik fungsional agama tersebut dapat dilihat dari sederetan hasil kajian seperti dalam the protestant ethic and the spirit of capitalism karya max weber, Tukugawa religion oleh Robert N.Bellah ,atau Islamic Roots of Capitalism, Egypt, 1760-1840 oleh Peter Gran,dan lain sebagainya.
Kontras antara wilayah-wilayah tradisi agama yang kuat dan tidak, bukanlah serta merta menunjukkan secara esensial entitas kekerasan karena agama .Apa yang fenomenal belum atau tidak menjelaskan yang esensial.Artinya,agama tidak bisa dipandang secara sempit sebagai hal yang lebih memicu kekerasan,konflik dan pertikaian brutal.
            Namun, dalam banyak hal, realitas menunjukkan bahwa ketegangan yang terjadi di antara umat beragama, justru berkaitan erat dengan faktor-faktor yang berada “di luar” lingkup agama. Utamanya, faktor kepentingan individu maupun kolektif, baik bersifat sosial, budaya, ekonomi maupun politik. Ketegangan-ketegangan yang terjadi di Asia khususnya, dan kawasan lain umumnya yang sering dibungkus dengan baju agama pada dasarnya lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi, dan politik.  Itu semua adalah variabel yang berada ”di luar” lingkup agama.        
            Konflik agama di Ambon (Maluku) misalnya, bila dilihat latar sosio-historisnya maka jelas terjadi konflik kepentingan baik ekonomi maupun politik yang melibatkan dua umat beragama yang berbeda disana.
            Pada zaman kolonialisme, karena letak geografisnya yang strategis dan kekayaan Sumber Daya Alamnya, kepulauan Maluku menjadi daya tarik bagi banyak negara Eropa untuk menguasainya.Pada sekitar tahun 1512 orang fortugis masuk ke Hitu di pulau Ambon. Di samping portugis, juga masuk Inggris, Spayol dan Belanda. Kolonialisme portugis tidak bertahan lama, orang-orang Inggris dan Belanda mencoba merebut Maluku. Maret tahun 1598 kapal-kapal Belanda pertama kali tiba di Maluku.
            Sejak zaman kolonialisme inilah agama kristen mulai menyebar luas, terutama di wilayah selatan. Sedangkan di bagian utara, karena pengaruh kuat kerajaan Tidore penduduknya banyak yang memeluk agama Islam. Gambaran ini juga tampak jelas terjadi di pulau Ambon. Pada bagian utara yang disebut Jazirah Leihitu mayoritas warganya Muslim. Sedangkan bagian selatan dinamai Jazirah Leitimur yang dihuni oleh mayoritas penduduk kristen. Disparitas kelompok agama dengan kawasan pemukiman mulai terkotak-kotak.
            Pada zaman Belanda polarisasi masyarakat Maluku sudah terbentuk. Penduduk yang beragama kristen cenderung bekerja di lingkungan ambtenaar dan militer. Sedangkan yang muslim lebih memilih bekerja di bidang pertanian dan perdagangan bersama dengan pendatang dari Bugis, Makassar, Jawa, Cina dan Arab.
            Benih konflik mulai bersemi. Belanda yang memakai politik devide et empera, secara diskriminatif justru mendorong pembangunan pendidikan di Maluku Aelatan yang Protestan. Sejak itu terbentuklah suatu segregasi wilayah berbasis agama di kepulauan Maluku. Belanda sebenarnya telah menanam bom waktu yang sampai sekarang terus menyimpan hulu ledak yang sewaktu-waktu meledak. Bukan hanya dalam perebutan kesempatan pendidikan dan lowongan pekerjaan, tapi juga dalam pergesekan sosial, ekonomi dan politik di Maluku.[9]
Menurut Ibnu Khaldun ada tiga aspek yang menyulut munculnya konflik bernuansa agama:[10]
1)      Konsekuensi Logis Ashabiyah
Ashobiyah yang diekspresikan melalui rasa cinta pada Kelompok (Primordialisme) yang muncul di dalam kelompok/etnis, dalam beberapa hal memunculkan rasa primordialisme (bahkan lebih ekstrim adalah chauvinism) menjadi pemicu bagi pertentangan dengan kelompok/etnis yg lain (The Otherness).
Konsekuensi lain dari sifat manusia di atas adalah agresifitas mereka, merupakan  aspek laten dari primordialisme yang dipicu oleh aspek eksternal, meliputi kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dasar suatu kelompok
Faktor pertama sebagaimana dijelaskan oleh Khaldun lebih banyak mengambil konteks masyarakat badawa yang masih memiliki pola hidup sederhana, kebutuhan dasar juga sederhana seperti pemenuhan kebutuhan dasar. Sedang orientasi tertinggi mereka adalah penguasaan terhadap suku lain dan penguasaan terhadap sumber-sumber produksi (sumur/sumber air, pasar, tanah).



2)     Faktor Politik
Pada aspek ini, konflik muncul karena motif mempertahankan kelompok, dinasti dan kerajaan/negara. Raja/pemimpin mempertahankan kerajaan/negara karena mereka menginginkan kekuasaan negara yang damai, sehingga mereka dapat membangun negara dengan lancar.
Pada masyarakat yang lebih kompleks, faktor politik juga muncul pada pertentangan antara kepentingan berbagai kelompok (yang –tentunya- telah bersifat heterogen) untuk memimpin tampuk kekuasaan
3)     Faktor Ekonomi
Faktor yang terakhir lebih disebabkan oleh kepentingan penguasaan terhadap sumber-sumer produksi, dan penguasaan terhadap pasar. Pada konteks Ibn Khaldun, ia tidak mengandaikan adanya penguasaan modal oleh pemodal atau penguasa dan penguasaan tanah oleh landlord (tuan tanah)  yang umumnya telah menjadi konteks bagi masyarakat Modern (Abad ke 20)
D.    Solusi terhadap Konflik-Konflik Bernuansa Agama
Menurut Simmel, konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial dasar, yang prosesnya terkait dengan bentuk-bentuk alternatif, seperti kerjasama dalam berbagai acara yang atk terhitung jumlahnya dan bersifat kompleks. Konflik sebagai gejala alamiah yang melekat dalam masyarakat memang tidak bisa dihilangkan, namun tidak berarti harus dibiarkan berkembang. Betapapun kecilnya konflik, harus diredam, atau sekurang-kurangnya tidak dibiarkan berlarut-larut.[11]
Ada beberapa langkah penting dan strategis untuk memupuk jiwa toleransi beragama dan membudidayakan hidup rukun antar ummat beragama. Langkah-langkah berikut paling tidak akan meminimalkan kalau tidak bisa menghilanggkan konflik agama. Kiat-kiat itu adalah sebagai berikut :[12]
1.      Menonjolkan segi-segi persamaan dalam agama, tidak memperdebatkaan segi-segi perbedaan dalam agama.
2.      Melakukan kegiatan sosial yang melibatkan para pemeluk agama yang berbeda.
3.      Mengubah orientasi pendidikan agama yang menekankan aspek sektoral fiqhiyah menjadi pendidikan agama yang berorientasi pada pengembangan aspek universal-rabbaniyah.
4.      Meningkatkan pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang memiliki budi pekerti yang luhur dan akhlakul karimah.
5.      Menghindari jauh-jauh sikap egoisme dalam beragama sehingga mengklaim diri yang paling benar.







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Agama adalah kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang didayagunakan oleh penganutnya untuk keselamatan dunia dan akhirat. Sedangkan fungsi agama adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan dan transpormatif, sebagai pendukung, pelipur lara dan perekonsiliasi, penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada, Pengkoreksi fungsi yang sudah ada
2.      Pengaruh agama terhadap masyarakat adalah agama sebagai kebutuhan manusiawi, agama memberi rasa aman secara moral dan agama merupakan kekuatan luar diri manusia.
3.      Penyebab konflik bernuansa agama di Indonesia adalah: ketegangan struktural(perasaan adanya ketidakadilan dalam masyarakat), kemunculan dan penyebaran pandangan, faktor pemercepat(situasi dan kondisi yang mendesak), mobilisasi tindakan para pemimpin memulai, menyarankan dan mengarahkan suatu kegiatan dan runtuhnya kontrol sosial.
4.      Solusi terhadap konflik yang terjadi di Indonesia adalah Menonjolkan segi-segi persamaan dalam agama, tidak memperdebatkaan segi-segi perbedaan dalam agama dan menghindari jauh-jauh sikap egoisme dalam beragama sehingga mengklaim diri yang paling benar(panatisme).








DAFTAR PUSTAKA
DEPARTEMEN AGAMA RI. Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia. Jakarta: DEPAG RI,2003.
Ikhwan, Hakimul Affandi.  Akar Konflik Sepanjang Zaman Elaborasi Pemikiaran Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Puataka Pelajar Offset, 2004.
Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2009.
Ram, Aminuddin dan Sobari, Tita, terjemahan Sociology, Sixth Edition, Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, TT.



[1]Titik Suwariyati, Konflik-Konflik Sosial Bernuansa Agama di Berbagai Komunitas dalam buku Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia (Jakarta: Depag RI, dkk, 2003), hal 1
[2]Aminuddin Ram dan Tita Sobari, terjemahan Sociology, Sixth Edition (Jakarta;PT Gelora Aksara Pratama), hal 319
[3] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Cet. V; Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2009), hal 129
[4] ibid
[5]Ibid  
[6]Ibid,hal 130
[7] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Cet. V; Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2009), hal 121
[8] Titik Suwariyati, op.cit., hal 6
[9] Ikhwan, Hakimul Affandi.  Akar Konflik Sepanjang Zaman Elaborasi Pemikiaran Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Puataka Pelajar Offset, 2004
[11] Umar Surur, Konflik Sosial Bernuansa SARA Berbagai Komunitas Etnik di Kalimantan Barat dalam buku Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia (Jakarta; DEPAG RI, 2003), hal 26
[12] Dadang Kahmad, op.cit), hal 151-152 

Artikel Terkait

Previous
Next Post »